Meneropong Humanisme Alam
Ada sebuah kutipan klasik yang pernah diungkapkan oleh Socrates, seorang filsuf berkebangsaan Yunani, yang berbunyi, “Kesejahteraan memberikan peringatan, sedangkan bencana memberi nasihat”. Sangat jelas Socrates secara tidak lansung “menyentil” proyek pembangunan yang sedang dikejar-kejar manusia.
Konon, pertumbuhan ekonomi yang baik, diamini sebagai satu-satunya cara mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Sebelum corona terjadi, telah terhembus isu mengenai salah satu wacana pembangunan.
Wacana yang dimaksud adalah tetap melaksanakan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN), kendati virus corona menghadang. Juru Bicara Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Marves) dan Kementerian Koordinator Marves, Jodi Mahardi menyatakan hingga kini proses pemindahan IKN tetap berjalan.
Meskipun sisi positifnya dapat menyumbang stimulus ekonomi, tentunya ada efek berbahaya dari pemindahan IKN, diantaranya adalah potensi timbulnya berbagai krisis lingkungan baru. Mulai dari peningkatan polusi udara, menipisnya pasokan air, hingga rentetan permasalahan lainnya.
Ini merupakan salah satu contoh dari bertolak belakangnya pembangunan dengan keamanan lingkungan. Apalagi dogma pembangunan kerap kali membius kita dengan mendorong melakukan penimbunan keuntungan ekonomi yang banyak dalam waktu yang singkat.
Sejauh ini, bisa disimpulkan kalau corak pembangunan adalah pemikiran hedonis yang sudah sangat mengakar kuat.
Banyaknya angka pembangunan dijadikan satu-satunya sumber kebahagiaan dalam hidup. Akibatnya, manusia melakukan pembangunan karena hawa nafsu belaka saja (untuk menjadi kaya), perbuatan yang persis seperti hewan.
Sudah barang tentu pembangunan yang hedonis berkelindan dengan kemunculan virus corona, virus yang sudah menewaskan sedikitnya 240 jiwa per 9 April (detikNews, 2020).
Virus ini dikabarkan bersumber dari kelelawar yang diburu manusia secara besar-besaran. Jelas sudah hasrat manusia dalam mengeksploitasi alam sudah membunuh kelelawar dan merusak ekosistem habitat kelelawar.
Hal yang disoroti di sini sudah tentu kelakuan manusia. Mungkin mereka lupa kalau alam, seperti yang dikatakan oleh Roswantoro (2012), adalah suatu keteraturan yang satu padu dengan komponen yang berada didalamnya.
Dalam sebuah sistem kosmos (alam semesta), jumlah tiap komponen (termasuk kelelawar) sudah diatur sedemikian rupa. Dengan kata lain, alam dan isi-isinya harus dalam jumlah yang tetap agar selalu seimbang.
Maka, mengurangi jumlah atau merusak satu komponen kosmos, akan berakibat kepada sebuah bencana. Pandemi corona merupakan salah satu contoh dari konsekuensi perusakan alam.
Alam melalui bencana corona mencoba memperingatkan kita atas segala perbuatan yang sudah melampaui batas.
Sebab, rekam jejak perbuatan manusia terhadap alam terbukti kelupaan manusia akan hakikat dirinya, yakni hakikat manusia sebagai makhluk universum. Mahkhluk universum sendiri menurut Absori et al. (2017), memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) bertumbuh (sifat tumbuh-tumbuhan), (2) kebinatangan (sifat binatang), dan (3) rasionalitas (sifat malaikat).
Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki semua nilai-nilai dasar yang dimiliki makhluk alam lainnya. Kekuatan universum yang melekat dalam diri manusia menegaskan perwujudan humanisme seutuhnya dari manusia. Kesadaran utuh manusia akan jati dirinya mendorong dirinya untuk menjaga keseimbangan alam semesta sesuai kadar etiknya.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya bencana corona dijadikan refleksi kita bersama, sekaligus menjadi pengingat untuk membangun ulang peradaban agar berwajahkan kemanusiaan.
Sehingga nantinya manusia tidak akan berlebihan dalam memanfaatkan sumber daya alam. Jumlah alam yang digunakan bakal berbanding lurus dengan pemenuhan kebutuhan materi dan metafisik manusia.
Terlebih lagi, anak perlu dididik materi humanisme alam sejak dini, mengingat mereka adalah arsitek peradaban selanjutnya. Pembelajaran humanisme alam tersebut tidak hanya sebatas teori, namun praktik juga.
Mulai dari praktikum sains, anak bisa diajarkan mengapa komponen kimia hanya bisa direaksikan dengan jumlah yang sudah ditentukan.
Sedangkan untuk orang dewasa, mari berkaca atas perbuatan kita selama ini terhadap alam. Kita cipta ulang paradigma tentang penggunaan alam. Segera gencarkan pembuatan teknologi yang berbasis humanisme alam. Kemudian, bumikan gerakan pencegahan dan penanggulangan kerusakan alam!
Penulis :
Habibah Auni
Mahasiswa S1 Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada
Sekretaris Umum Korps HMI-Wati (KOHATI) Cabang Bulaksumur 2020
Post a Comment